KUSTA
DEFINISI
Kusta
(lepra atau morbus Hansen) adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (M. leprae) penyakit ini menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya
ETIOLOGI
M. leprae merupakan basil tahan asam
(BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ
lain seperti mukosa salurean napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali
susunan saraf pusat. Masa membelah
diri M. leprae 12-21 hari dan masa
tunasnya antara 40 hari – 40 tahun. M.
Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH
Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman
ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5
micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup
dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada
binatang Armadillo.
EPIDEMIOLOGI
Cara
penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli
melalui saluran pernapasan (inhalasi)
dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit
melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu
ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Timbulnya
penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal
ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta,
daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan iklim.
Sumber
penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien tipe MB (multy basiler) yang belum di obati atau
tidak berobat secara teratur.
Bila seseorang
terinfeksi M. Leprae, sebagian besar
(95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate,
30% bermanisfestasi klinis menjadi determinate
dan 70% sembuh.
Insiden tinggi pada daerah tropis dan sub tropis
yang panas dan lembab. Insidens penyakit kusta di indonesia pada maret 1999 sebesar
1,01 per 10.000 penduduk.
Kusta
dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada
kelompok anak umur 10-12 tahun.
PATOGENESIS
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum
diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada
bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Setelah
M. Leprae masuk ke dalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh
setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau
sistem imunitas seluler tinggi. Penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang
ke arah lepromatosa. M. Leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral
dengan vaskularisasi yang sedikit.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler )
terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis
atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi
mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk
memfagosit.
Tipe
LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu
menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.
Tipe
TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya
setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak
aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera
diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitar.
Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada
tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi
seluler daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat
disebut sebagai penyakit imunologis.
MANIFESTASI KLINIS
Diagnosis
didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut
WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal
berikut.
- Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel,
biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna
tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi
sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi
saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga
merupakan tanda kusta.
- BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan
asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai
dan diperiksa ulangn setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau
penyakit lain.
KLASIFIKASI
Klasifikasi
berdasarkan Ridley dan Joping adalah tipe TT (tuberkoloid), BT (borderkine tuberkoloid), BB (mid
borderline), BL (borderline
lepromatous), dan LL (lepromatosa).
Sedangkan departemen kesehatan Dirjen P2MPLP (1999) dan WHO (1995) membagi tipe
menjadi tipe pause basiler (PB) dan multy basiler (MB). Dan membagi
klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik,
dan status imun penderita menjadi
1.
TT : Lesi
berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang
dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi.
Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi
kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat
eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan
sensibilitas ( + )
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa
permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat
eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada
tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada
sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam
jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan
sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan
permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + )
sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( -
).
WHO membagi menjadi
dua kelompok, yaitu :
1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2.
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
PEMERIKSAAN KLINIS
- inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit diseluruh tubuh diperhatikan seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
- Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
- Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. Auricularis, n. Ulnaris, n. Radialis, n. Medianus, n. Peroneus, dan n. Tibialis posterior. Hasis pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Erhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
- Pemeriksaan fungsi saraf otonom. Yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.
GAMBARAN KLINIS
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
1.
Tipe Tuberkoloid ( TT )
·
Mengenai kulit dan saraf.
·
Lesi
bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
·
Permukaan
lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau
tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot,
sedikit rasa gatal.
·
Infiltrasi
Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu
yang adekuat terhadap basil kusta.
2.
Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
·
Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
·
Gambar
Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
·
Gangguan
saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
·
Lesi
satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3.
Tipe Mid Borderline ( BB )
·
Tipe
paling tidak stabil, jarang dijumpai.
·
Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
·
Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang
jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.
·
Lesi
sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
·
Bisa
didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
4.
Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula,
awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas
dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa
plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil
daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat
prediteksi.
5.
Tipe Lepromatosa ( LL )
·
Lesi
sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
·
Distribusi lesi khas :
o
Wajah
: dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
o
Badan
: bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
·
Stadium lanjutan :
o
Penebalan kulit progresif
o
Cuping telinga menebal
o
Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies
leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
·
Lebih lanjut
o
Deformitas hidung
o
Pembesaran
kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
o
Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses
anestesi.
o
Penyakit
progresif, makula dan popul baru.
o
Tombul
lesi lama terjadi plakat dan nodus.
·
Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi
hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak
termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
·
Beberapa
macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
·
Lokasi
bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan
makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
·
Merupakan
tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
·
Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis
organ lain
·
Mata
: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
·
Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
·
Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi,
artritis
·
Lidah : ulkus, nodus
·
Larings : suara parau
·
Testis : ginekomastia, epididimitis akut,
orkitis, atrofi
·
Kelenjar limfe : limfadenitis
·
Rambut : alopesia, madarosis
·
Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal,
pielonefritis, nefritis interstitial.
PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai
berikut :
- sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
- kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain.
- pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kkulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
- lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. Leprae ialah :
- cuping telinga kanan/kiri
- dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain.
- sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena :
- Tidak menyenangkan pasien
- Positif palsu karena ada mikrobakterium yang lain
- Tidak pernah ditemukan M. Leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatif
- Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dahulu negatif daripada sediaan kulit ditempat lain
- indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
- semua orang dicurugai menderita kusta
- semua pasien baru yang di diagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.
- Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat.
- Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.
- pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-Gabett
- cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan chumps.
PENATALAKSANAAN
Tujuan
utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah
timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens
penyakit.
Program
multy drug therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen
pengobatan MDT di indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut :
Tipe B
Jenis obat dan dosis untuk dewasa :
- rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
- DSS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan
dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (released from treatment =
berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah completion of
treatment cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
Tipe MB
Jenis
- rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
- klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum dirumah.
- DSS 100 mg/hari diminum dirumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO
(1998) pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak
- klofazimin : umur
dibawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur
11-14 tahun bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/3 kali/minggu
- DDS 1-2 mg/kg berat badan
- rifampisin 10-15 mg/kg berat badan
Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO (1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan
dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan
pasien langsung dinyatakan RFT, sedanngkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan di anjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
Putus obat.
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat
sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO< sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat sebanyak 12 dosis dari yang
seharusnya.
Evaluasi
Evaluasi pengobatan menurut buku panduan
pemberantasan penyakit kusta depkes (1999) adalah sebagai berikut :
- pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
- pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
- RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
- masa pengamatan
pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif :
- Tipe PB selama 2 tahun
- Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
- hilang/out of control (OOC)
pasien PB maupun MB dinyatakan hilang
bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari registrasi
pasien.
- relaps (kambuh)
terjadi
bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.
INDIKASI RUJUKAN
- memastikan diagnosis penyakit kusta
- neuritis akut dan sebakut
- reaksi reversal berat
- reaksi ENL berat
- komplikasi pada mata
- reaksi terhadap antikusta
- tersangka resisten terhadap antikusta
- pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medik
- pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat
- pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi
- pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
- luka lebar dan dalam pada anggota gerak
- pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septik
- pasien yang memerlukan protese
- indikasi sosial
KOMPLIKASI
Cacat merupakan
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat kerusakan fungsi saraf
tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta
REAKSI KUSTA
Reaksi
kusta atau reaksi lepra adalah suatu
episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi
kekebalan (respon seluler) atau reaksi antigen-antibodi (respon humoral) dengan
akibat merugikan pasien.
Reaksi
ini dapat terjadi pada pasien sebelum
mendapat pengobatan, selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Namun sering
terjadi pada 6 bulan sampai setahun esudah mulai pengobatan.
JENIS REAKSI
- reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline)
Terjadi pada pasien tipe borderline
disebabkan meningkatnya kekebakan seluler secara cepat. Pada reaksi ini terjadi
pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui secara
pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.
Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan
lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum
pasien (gejala konstitusi).
- reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum)
Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan
merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi
antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respon adanya
antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen.
Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang
dikenal sebagai eritema nodosum leprosum (ENL),
mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala
konstitusi seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh
lainnya.
Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi
kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, menstruasi, hamil, setelah melahirkan,
pembedahan, sesudah mendapat imunisasi, dan malaria) dan stres mental.
Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul
berulang-ulang dan berlangsung lama.
PENATALAKSANAAN
- prinsip pengobatan
- pemberian obat anti reaksi
obat yang dapat digunakan
adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti implamasi.
Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari
Klorokuin 3x150 mg/hari
Prednison 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi
hari sesugah makan atau dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya :
4x2 tablet/hari, berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respon
maksimal.
Untuk melepas ketergantungan
pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunanakan talidomid. Dosis talidomid
400 mg/hari yang berangsur-angsur ditirunkan sampai 50 mg/hari. Tidak
dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik.
Setiap 2 minggu pasien harus
diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila tidak ada perbaikan maka
dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat
ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari). Setelah ada perbaikan
dosis diturunkan.
Untuk mencegah ketergantungan
terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya diberikan pada
reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari dosis pengobatan
kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah
berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100 mg/hari, selama
1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/ hari selama 1 bulan. Setelah reaksi
hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari
- Istirahat/imobilisasi
- Pemberian analgesik dan sedatif
Obat yang digunakan sebagai
analgesik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin masih merupakan
obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai
antiinflamasi dan analgesik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat
digunakan sebagai analgesik. Sedangkan antimon yang digunakan pada reaksi tipe
II untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang kini jarang dipakai karena
kurang efektif dan toksin. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut.
Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari
Parasetamol 300-1000 mg yang diberikan tiap 4-6 x
sehari (dewasa)
Antimon 2-3 ml diberikan
secara selangn seling, maksimum 30 ml
- Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah
Untuk semua tipe reaksi, bila
tidak ada kontra indikasi, semua obat anti kusta dosis penuh harus tetap
diberikan.
- pengobatan reaksi ringan
- pemberian obat antireaksi.
Aspirin dan talidomin biasa
digunakan untuk reaksi. Bila dianggap perlu dapat diberikan klorokuin selama
3-5 hari.
- Istirahat/imobilisasi
Berobat jalan dan istirahat
dirumah
- Pemberian analgetik dan sedatif
Pemberian obat analgetik dan
penenang bila perlu
- Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak di ubah.
- pengobatan reaksi berat
- pemberian obat antireaksi
pada reaksi berat diberikan
preednison dalam dosis tunggal atau terbagi
- istirahat/imobilisasi
imobilisasi lokal pada anggota
tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan pasien dirawat inap di rumah
sakit.
- Pemberian analgetik dan sedatif
- Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah
REHABILITASI
Usaha-usaha
rehabilitasi meliputi medis, okupasi, dan sosial. Usaha medis yang dapat
dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun
hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan
pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh.
Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap
pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan
semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur
dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan
memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya
dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu
pemasaran hasil usaha pasien.
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KUSTA
PENGKAJIAN
Dasar data pengkajian klien
·
aktivitas atau istirhat
1.
gejala :malaise
·
sirkulasi
tanda : td normal/sedikit dari jangkauan
normal ( selama curah jantung tetap meningkat ), kulit hangat kering,
bercahaya,pucat, lembab, burik ( vasokontriksi )
·
eliminasi
1.
gejala : diare
·
makanan/cairan
1.
gejala : anoreksia, mual/muntah
2. tanda : penurunan BB, penurunan lemak
subkutan/massa otot ( malnutrisi ), pengeluaran haluaran, konsentrasi urine,
perkembangan ke arah oliguri, anuria
·
neurosensori
1.
gejala : sakit kepala, pusing, pinsang
2.
tanda : gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi,
delirium/koma
o
nyeri/kenyamanan
1. gejala : kejang abdominal, lokalisasi rasa
sakit, urtikaria/pruritas umum
·
pernapasan
1. tanda : takipnea dengan penurunan
kedalaman pernapasan, suhu : umunya meningkat ( 37.95 oc atau lebih ), tetapi
kadang sub normal ( <>
§
seksualitas
1.
gejala : pruritas perineal
2. tanda : maserasi vulva, pengeringan vgina
purulen
·
penyuluhan/pembelajaran
1.
gejala : masalah kesehatan kronis/melemahkan, misalnya
: hati, ginjal, DM, kecanduan alkohol, penggunaan anti biotik ( baru saja atau
jangka panjang )
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping
indifidu
2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses
reaksi
3. Gangguan aktivitas b/d post amputasi
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan
dengan berkurangnya elastisitas kulit
INTERVENSI
Gangguan konsep
diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu
Tujuan :
Klien dapat
memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria hasil :
·
Klien dapat menerima perubahan dirinya
·
Klien
tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
·
Klien tidak merasa malu
Intervensi :
·
Bantu
klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa
perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
·
Ajarkan
pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot
tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
·
Anjurkan
klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.
Gangguan rasa
nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi
Tujuan :
Rasa nyaman
terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan
kriteria hasil :
·
Klien
merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
·
Klien tenang
·
Pola
istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari
Intervensi :
1.
Kaji skala nyeri klien
2.
Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
3. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
4.
Awasi keadaan luka operasi
5. Ajarkan cara nafas dalam & massage
untuk mengurangi nyeri
6. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik
dan analgetik.
Perubahan pola
aktivitas berhubungan dengan post amputasi
Tujuan :
Klien dapat
beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan
keperaatan dengan kriteria hasil :
·
Klien dapat beraktivitas mandiri
·
Klien
tidak diam di tempat tidur terus
Intervensi :
1. Motivasi klien untuk bisa beraktivitas
sendiri
2.
mengajarkan
Range of Motion : terapi
latihan post amputasi
3. Motivasi klien untuk dapat melakukan
aktivitas sesuai dengan kemampuannya.
Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan inflamasi kuman pada kulit dan jaringan
subkutan
Tujuan:
Klien mampu merawat luka/lesi yang ada di
kulit sehingga tidak mempengaruhi konsep diri dengan kriteria hasil :
1. klien mampu beradaptasi dengan orang-orang
disekitarnya
2. klien tidak lagi merasa malu karena
luka/lesi yang ada
3. klien mampu mengetahui bahwa lesi harus
selalu dirawat agar tidak bertambah parah
Intervensi
:
·
kaji/catat
ukuran, warna, dan kedalaman luka
·
gunakan
krim kulit 2xsehari setelah mandi
·
pijat
kulit dengan lembut untuk memperbaiki sirkulasi kulit
Resiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan berkurangnya elastisitas kulit
Tujuan :
Klien mengetahui dengan keadaan sekarang
maka sangat rentan terhadap berbagai macam bakteri dan virus yang akan masuk
kedalam tubuh sehingga klien akan lebih berhati-hati dan juga merawat diri.
Dengan kriteria hasil :
1. tidak ada bakteri/virus lain yang ada
dalam tubuh klien
Intervensi :
·
cuci
tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung
tangan seteril
·
pantau
adanya tanda-tanda infeksi
·
gunakan
selalu alas kaki dan jangan berjalan terlalu cepat
DAFTAR PUSTAKA
·
Sjamsoe
– Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta.
·
Sjamsuhidajat.
R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta.
- Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi, keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. Jakarta. EGC.
- Mansjoer, Arif M. Kapita selekta kedokteran, jilid 1. 2000. Media aesculapius. Jakarta
- http://askepkusta.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Selamat datang Di Blog Bigbang jangan lupa tinggalkan Jejak ^^. Post Youre Coment